Saturday, March 10, 2018

Menerpa garis waktu dengan DIA


Menerpa garis waktu dengan DIA

Entah kenapa kami selalu menyapa atau  membuat suatu komunikasi aku dengan dia hampir setiap hari, minimal dengan sapaan yang aduhai dan gemulai kata orang “ hai … kamu”. Waktu itu aku di pondok teringau dengan seorang gadis yang pernah hadir pada suatu malam dalam mimpi dan aku pun terbangun demgan cuaca dingin yang mengalir dari semen asramaku, selimutku terlepas dan bangun, aku mau menyapa air menjenguk hati yang hilang dari sang pemilik. Dalam segala gerak-gerik dalam sholat ku teringang dari telinga tentang kasih cinta ibu yang ingin meminta doa katanya. Curhat malam itu tak lupa kusampaikan tentang kenapa hatiku hampir jatuh untuk dia, iya.. Dia yang satu pondok denganku. Memang kata orang dia luar biasa, tak sangka hatiku juga terpana namun aku malu untuk mengungkapkan itu.

                Pagi menjelang kami pun berbondong-bondong menuju tempat dimana  kami biasa melakukan aktivitas menuju ma’rifat dengan bibir yang basah dengan kalimat dzikir, kalimat tasbih dan pujian-pujian yang selalu kami biasakan setiap harinya. Dengan menepak sejadah yang pernah aku pake bersujud dan mencurahkan hati kepadanya, suara mikropon yang aku bunyikan untuk membagunkan teman-teman, memang statusku jadi pengurus untuk periode ku tahun itu. Ba’da subuh, kajian adalah rutinatas kami, namun kali ini aku berfokus pada hapalan Al-quran yang sudah sekian lama aku impikan untuk menghatamkan sebuah kalimat-kalimat suci yang diturunkan kepada manusia untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dunia wal akhirat.

                Suara mikropon dan suara hitungan membuat hidupku semakin sempit, karena selalu dikejar oleh waktu, aku pun berlari, berlari agar tidak terlambat bersama mereka dan juga menghindari hukuman, hampir saja aku terjatuh dengan kaki yang terpleset di atas semen dan menuai timbulnya tawa mereka. “Ayu” ya Namanya seayu dirinya, Dia kelas SMA, dia satu angkatan denganku semua orang di pondokku tahu tentang dirinya, senyum merah merona dari bibirnya yang basah seakan tak pernah padam dari dirinya, dia sederhana semua orang malu dengan keelokan dirinya. Aku tahu dia sejak SMP dulu, iya aku tahu di kelas B, aku pernah jumpa dia hampir persisi dengan senyumnya sampai sekarang ini namun itu Cuma sekali saja skedar lewat. Awal mula aku pernah menyapa dia dengan sedikit kegilaan dan humor yang aku punya tapi entah kok jadi lebih dalam, hampir menaruh hati, hampir saja Tuhan, aku pernah ikut beasiswa tahfiz dulu dan dia pun ikut meski tanpa beasiswa dia rela bayar sendiri asalkan bisa. Semakin menambah keyakinanku dengannya, pernah sekali dia ulang tahun dan kuberikan sedikit kado unik untuknya, Subhanallah senyumnya kembali merona, kok tiba-tiba hatiku senang banget gitu. Jangan-jangan ini pertanda, aahhh… masa bodoh yang penting aku senang.

                Setiap hari aku selalu menyempatkan diri untuk melihat senyum merona indah dari bibirnya walupun itu dari kejauhan, mungkin ia tidak pernah tahu, menurutku dia orang yang paling berbeda sekalipun dalam kerumunan aku pasti tahu bahwa itu dia si merah senyum yang memikat hati setiap orang yang aduhai.

               

0 comments:

Post a Comment